OH BENTEN! IK WELLEN IK BODDEN ANDERSTEKEN VERSTEKEN!
Allah Yang Maha Baik menakdirkan saya untuk kaya raya.
Kaya raya karena betapa banyak kesempatan untuk memberi dan memberi dan memberi.
Pak becak, berapa harga kau tawarkan? Akan kutawar sampai harga paling wajar, nanti kubayar dua kali lipat, tanpa kuberitahukan sebelumnya.
Ayo para penjual barang eceran, yang hidup dari laba 25 atau 50 rupiah! Gandakan harga jual barangmu nanti kutambah seratus dua ratus rupiah.
Kuintip setiap kesempatan untuk melempar seratus dua ratus, seribu dua ribu -- tapi sepuluh dua puluh ribu aku belum marnpu. Allah yang Maha Baik menakdirkan saya untuk kaya raya.
Alangkah nikmat rasa memberi. Betapa segar sehabis memberi. Dan kalau pemberitahuanku tentang memberi ini merupakan riya' atau kesombongan, biarlah batal pahalaku. Aku ingin nemberikan pemberitahuan ini. Aku tidak ingin membeli pahala. Aku ingin memberi.
Memberi apa saja, uang, benda, tenaga, peluh, pikiran, jiwa, diri, dan hidup ini sendiri. Tapi tolong jangan seluruhnya. Sisakan sejumput saja dari diriku, kupakal untuk sekadar bermimpi. Allah yang Maha Balk menakdirkan saya untuk kaya raya.
Badanku dikoyak-koyak, kuberikan. Waktuku diserap, kukasihkan. Hidupku dicabik-cabik, kuikhlaskan.
Tangan kananku di sana, tangan kiriku di sini. Kaki kananku di seberang pulau, kaki kiriku terpaku di kedalaman karnpung.
Nanti aku akan habis, tapi tetap akan kucuri sisanya.
Tiba-tiba dua bulan ini aku sudah berada di X lima kali. Tiba-tiba sampai kembali di Y, lolos lagi ke Z, kembali lagi ke Y dan tancap lagi ke Z, dan berulang balik lagi, balik lagi, dan di tengah-tengah itu darahku tercecer di A, B, C, D, E
"Kau martir yang sia-sia!" kata seorang sahabat.
"Kau jadi kayu bakar. Orang pesta minum dari air yang kau didihkan, kau sendiri jadi abu!" kata yang lain.
"Enerjimu terbuang percuma!" kata lainnya lagi.
"Tempuh hubungan kerja yang jelas dong! Ini hubungan profesional ya nggak, hubungan manusiawi ya nggak, ini perbudakan!"
"Kalau orientasi kerja kelilingmu adalah eksistensi pribadi dan popularitasmu, memang efektif. Tapi aku tahu kau bukan itu. Jadi kau nanti akan hanya mati ngenes, mati ditengah tumpukan cindera mata, kayu-kayu dan logam-logam kenangan berhala..."
0, tidak! Aku tidak mati, karena aku ini tidak penting. Aku mengabdi kepada proses masyarakat. Perlahan-lahan aku tantang mereka untuk bil-hal, bil-hal, langkah-langkah yang kongkret, terorganisir dan strategis.
Kusiapkan banyak hal untuk itu. Allah menakdirkan saya untuk kaya raya.
Tiba-tiba, tanpa saya sadari prosesnya, problem di sekitarku sendiri membengkak. Tanganku harus mampu meneteskan sekian juta rupiah buat Seorang Beliau yang terjerat Rentenir.
Sekarang menjadi jelas. Di tengah kekayaan yang melimpah ruah itu, saya adalah seorang miskin yang wajib mencari nafkah. Lho! Selama ini ternyata saya mencangkul sawah-sawah orang lain! Mana sawah saya sendiri?
Seorang kawan lama datang. Kawan yang juga tak punya sawah. Kami selalu kompak, jadi untuk sementara beres segala persoalan. Cara kami membereskan ialah dengan omong-omong dengan bahasa yang tak ada artinya tapi kami berlagak seolah-olah paham satu sama lain. "Oh, what? Rentenir? No wellen ik bodden anderstaken versteken . ."
Maaf Para pengopi, saya 'numpang gila' sebentar. Itu juga kekayaan.
(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi Jon Pakir"/Mizan/1996/PadhangmBulanNetDok)
Kaya raya karena betapa banyak kesempatan untuk memberi dan memberi dan memberi.
Pak becak, berapa harga kau tawarkan? Akan kutawar sampai harga paling wajar, nanti kubayar dua kali lipat, tanpa kuberitahukan sebelumnya.
Ayo para penjual barang eceran, yang hidup dari laba 25 atau 50 rupiah! Gandakan harga jual barangmu nanti kutambah seratus dua ratus rupiah.
Kuintip setiap kesempatan untuk melempar seratus dua ratus, seribu dua ribu -- tapi sepuluh dua puluh ribu aku belum marnpu. Allah yang Maha Baik menakdirkan saya untuk kaya raya.
Alangkah nikmat rasa memberi. Betapa segar sehabis memberi. Dan kalau pemberitahuanku tentang memberi ini merupakan riya' atau kesombongan, biarlah batal pahalaku. Aku ingin nemberikan pemberitahuan ini. Aku tidak ingin membeli pahala. Aku ingin memberi.
Memberi apa saja, uang, benda, tenaga, peluh, pikiran, jiwa, diri, dan hidup ini sendiri. Tapi tolong jangan seluruhnya. Sisakan sejumput saja dari diriku, kupakal untuk sekadar bermimpi. Allah yang Maha Balk menakdirkan saya untuk kaya raya.
Badanku dikoyak-koyak, kuberikan. Waktuku diserap, kukasihkan. Hidupku dicabik-cabik, kuikhlaskan.
Tangan kananku di sana, tangan kiriku di sini. Kaki kananku di seberang pulau, kaki kiriku terpaku di kedalaman karnpung.
Nanti aku akan habis, tapi tetap akan kucuri sisanya.
Tiba-tiba dua bulan ini aku sudah berada di X lima kali. Tiba-tiba sampai kembali di Y, lolos lagi ke Z, kembali lagi ke Y dan tancap lagi ke Z, dan berulang balik lagi, balik lagi, dan di tengah-tengah itu darahku tercecer di A, B, C, D, E
"Kau martir yang sia-sia!" kata seorang sahabat.
"Kau jadi kayu bakar. Orang pesta minum dari air yang kau didihkan, kau sendiri jadi abu!" kata yang lain.
"Enerjimu terbuang percuma!" kata lainnya lagi.
"Tempuh hubungan kerja yang jelas dong! Ini hubungan profesional ya nggak, hubungan manusiawi ya nggak, ini perbudakan!"
"Kalau orientasi kerja kelilingmu adalah eksistensi pribadi dan popularitasmu, memang efektif. Tapi aku tahu kau bukan itu. Jadi kau nanti akan hanya mati ngenes, mati ditengah tumpukan cindera mata, kayu-kayu dan logam-logam kenangan berhala..."
0, tidak! Aku tidak mati, karena aku ini tidak penting. Aku mengabdi kepada proses masyarakat. Perlahan-lahan aku tantang mereka untuk bil-hal, bil-hal, langkah-langkah yang kongkret, terorganisir dan strategis.
Kusiapkan banyak hal untuk itu. Allah menakdirkan saya untuk kaya raya.
Tiba-tiba, tanpa saya sadari prosesnya, problem di sekitarku sendiri membengkak. Tanganku harus mampu meneteskan sekian juta rupiah buat Seorang Beliau yang terjerat Rentenir.
Sekarang menjadi jelas. Di tengah kekayaan yang melimpah ruah itu, saya adalah seorang miskin yang wajib mencari nafkah. Lho! Selama ini ternyata saya mencangkul sawah-sawah orang lain! Mana sawah saya sendiri?
Seorang kawan lama datang. Kawan yang juga tak punya sawah. Kami selalu kompak, jadi untuk sementara beres segala persoalan. Cara kami membereskan ialah dengan omong-omong dengan bahasa yang tak ada artinya tapi kami berlagak seolah-olah paham satu sama lain. "Oh, what? Rentenir? No wellen ik bodden anderstaken versteken . ."
Maaf Para pengopi, saya 'numpang gila' sebentar. Itu juga kekayaan.
(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi Jon Pakir"/Mizan/1996/PadhangmBulanNetDok)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar