UNPLUGGED

Rabu, 18 Mei 2011

Hukum Malaikat Buntung, Hukum Iblis Beruntung

Hukum Malaikat Buntung, Hukum Iblis Beruntung

Seandainya dalam institusi negara kita pemerintah dan rakyat sudah sama-sama
sanggup melaksanakan ketaatan yang maksimal terhadap hukum, Anda masih boleh
tertawa-tawa geli menyaksikan sejumlah kepahitan di belakangnya.

Pertama, orang yang merasa nyaman dengan maksimalitas pelaksanaan hukum itu
adalah mereka yang merupakan bagian dari "masyarakat" hukum. Masyarakat hukum
adalah penghuni elite dari peradaban ’modern’, tepatnya masyarakat yang
merasa dan amat meyakini bahwa dirinya modern dan hidup di zaman yang
’terbaik’, yakni ’modern’.

Iseng-iseng saya pernah menemani 18 penduduk asli Pulau Waikiki, Hawai,
melakukan demo ke kantor gubernuran di negara bagian (Amerika Serikat) Hawai.
Mereka menuntut pengembalian Pulau Waikiki itu dari kepemilikan negara Serikat
Amerika kepada mereka.

Sejak ribuan tahun silam nenek moyang mereka bertempat tinggal dan
’memiliki’ pulau itu berdasarkan hukum mereka. Sekurang-kurangnya bertempat
tinggal (’jam terbang’) ribuan tahun di suatu hamparan tanah secara
filosofis hukum bisa dijadikan landasan untuk memungkinkan copyright mereka atas
tanah itu.

Tetapi, tuntutan mereka sangat menggelikan bagi akal sehat manusia modern,
sangat bodoh secara kebudayaan modern, dan sangat melawan ’hukum’ yang sudah
diberlakukan atas tanah itu, yakni ’hukum’ negara serikat Amerika.

Jadi mana yang benar?
Yang mana kebenaran sejati?

Apakah benarnya ’hukum’ modern itu benar sejati?
Penduduk asli Hawai itu bisa paralel dengan semua suku di Irian Jaya,
teman-teman Dayak di hutan-hutan Kalimantan, atau kelompok masyarakat mana pun
yang hidup di dunia beralamatkan di RW ’Sejarah’ RT ’Adat’. Sementara
pada suatu pagi mereka bangun tidur thilang-thileng mencari "Di mana tadi
sejarah saya? Adat saya". Kok tiba-tiba di luar pintu itu ada orang-orang
berseragam hendak mengursusnya tentang apa yang disebut "sejarah" baru, "adat"
baru, dan "hukum" baru.

Dalam konteks itu hukum modern adalah Dajjal bermata satu, bertangan satu,
bertelinga satu, berhati sebelah dan berakal terbelah (growak) di tengah-tengah.
Ribuan tahun orang Jawa menciptakan peradaban tempe dan pada suatu siang
tiba-tiba saja tempe adalah milik orang Jepang, berkat hukum modern. Setengah
mati orang Jogja, Solo, dan Pekalongan membanggakan budaya dan karya batik,
sampai mendadak mereka hampir stroke mendengar bahwa batik adalah hak patennya
Malaysia.

Sebuah pabrik kecap puluhan tahun sukses dan digemari konsumen, suatu hari
pimpinannya diseret ke pengadilan dan dipenjarakan, dituntut oleh salah seorang
karyawan yang membelot, membuat pabrik sendiri, mendaftarkannya ke lembaga hak
cipta- sementara pabrik aslinya tidak pernah mendaftarkan.

Insya Allah suatu hari nanti saya akan kehilangan nama karena ada teman yang
mendaftarkan Emha Ainun Nadjib sebagai hak cipta dia. Yang kasihan adalah Nabi
Muhammad, telanjur tidak sempat sowan mendaftarkan namanya, sehingga tunggu
saatnya beliau tak lagi diakui sebagai pemilik nama Muhammad. Yang repot kita
orang Islam, setiap membaca syahadat musti kasih royalti kepada pemegang hak
cipta nama Muhammad. Bayangkan, berapa duit harus kita siapkan untuk salat wajib
lima kali sehari saja. Belum lagi ditambah wirid dan shalawat.

Anda jangan lantas tidak salat demi menghindari kewajiban memberi royalti. Insya
Allah Tuhan juga mafhum atas kekurangan Anda. Sebab, Tuhan sendiri juga
berposisi sama dengan Muhammad dan Anda. Entah kapan Tuhan akan bertamu ke
kantor lembaga hak cipta untuk mendaftarkan paten nama Allah, Yehova, Sang Hyang
Wenang, dsb. Tentu butuh sangat banyak biaya. Andaikan Muhammad tidak telanjur
menjadi nabi terakhir, mungkin diperlukan wahyu baru yang menganjurkan agar umat
Islam ketika menyebut Allah dan Muhammad cukup dalam hati, demi menghindari
pemborosan royalti hak cipta.

Yang paling selamat adalah manusia yang celat atau pelat lidahnya, yang menyebut
Allah dengan Awwoh dan Muhammad dengan Mamad. Itu pun kalau Awwoh dan Mamad
belum didaftarkan ke lembaga hak cipta.


***
Ini sekadar iftitah, pembuka dari pembicaraan yang sangat mungkin bisa panjang
tentang kelucuan hukum. Anda pasti sangat cerdas memahami judul tulisan ini,
sesudah ala kadarnya membaca preambul ini.

Omong nasi musti omong beras, padi, tanah, daun, tanaman, angin, air, matahari,
musim, Tuhan dan terus terus teruuus sampai tak mungkin Anda menghindar dari
satu kata apa pun tatkala membicarakan satu kata yang lain. Hukum, fikih, moral,
akhlaq, takwa, mahabbah…. Teruuus sampai SBY-JK turun belum akan selesai kita
sebut kata demi kata, demi menguraikan sekadar satu kata.

Belum lagi kalau saya pancing dengan kalimat bahwa saya termasuk orang yang
tidak peduli hukum. Ada hukum atau tidak, saya tidak akan menyakiti manusia. Ada
KUHP atau tidak, saya tidak akan maling. Ada jaksa, hakim, atau tidak, saya
tidak akan mencekik anak tetangga. Ada polisi, pengacara atau tidak, saya tidak
akan memerkosa wanita maupun kambing betina dan apa siapa saja….
(Emha Ainun Nadjib/JawaPos/2007/PmBNetDok)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar