Raja, Ratu dan Buto
Adakah di antara Anda yang merasakan, menyadari atau setidaknya mengasumsikan
bahwa banyak hal yang sedang menjadi pengalaman kolektif masyarakat kita dewasa
iniĆ¢€”diam-diam ada kaitannya dengan idiom-idiom `raja', `ratu' dan `buto'?
Marilah sesekali berpikir jernih dan tolong kerahkan akal pikiran serta segala
spektrum keilmuan Anda untuk menjawab pertanyaan: apakah di penghujung abad 20
ini masih ada raja, ratu, atau buto?
Kalau kita berpikir formal, tak ada raja, apalagi ratu. Tapi kalau berpikir
substansial atau essensial: kita-kita ini adalah raja, adalah ratu, juga adalah
buto.
Kita mungkin raja atas bawahan-bawahan kita. Kita raja di rumah, di lingkungan
kantor, atau mungkin di mana saja kita berada. Sekurang-kurangnya kita secara
alamiah (dan diperkembangkan oleh tradisi pengalaman sosial) memiliki
potensialitas untuk cenderung menjadi `raja', yang sadar atau tak sadar, kita
terapkan di setiap kosmos keterlibatan sosial kita.
Kita cenderung merajai rumah tangga kita, merajai lingkungan pergaulan kita,
merajai segala aset di sekitar kita. Apalagi jika kita dibesarkan oleh suatu
lingkungan yang atmosfer perhubungan antar-manusianya bersifat feodalistik di
mana orang hanya memiliki dua kemungkinan: kalau di atas, menginjak; kalau di
bawah, menjilat atau mengemis.
Yang terbaik tentulah jika kita sanggup menjadi raja atas diri kita sendiri.
Kita menjadi raja atas segala urusan hidup kita. Kita menjadi raja yang
demokratis dan pensyukur atas segala kebaikan diri kita, kita menjadi raja yang
diktator atas segala keburukan diri kita.
Tetapi apa beda antara `raja' dengan `ratu' sesungguhnya? Sehingga tulisan ini
berjudul demikian?
Kalau membedakan antara raja dan ratu dengan buto, masih relatif agak gampang.
Buto, atau raksasa, tak pernah ada dalam kehidupan manusia, di bagian manapun
dari sejarah peradabannya. Buto atau raksasa hanyalah personifikasi dari salah
satu watak gelap manusia yang berpotensi anti kemanusiaan, antikebaikan,
anti kehalusan.
Rahwana digambarkan berbadan dan berwajah raksasa, karena ia lambang kejahatan.
Meskipun demikian, menurut masyarakat Srilanka, Rahwana bisa menjadi pahlawan
yang ganteng. Justru Prabu Rama itu imperialis, fasis, kolonialis, yang lebih
tepat untuk digambarkan berwajah buto.
Sebagaimana orang Blambangan dan Banyuwangi tidak mengakui gambaran Menakjinggo
yang oleh `sejarah versi Majapahit' digambarkan sebagai buto yang buruk wajah
maupun kelakuannya. Bagi mereka, justru raja-raja Majapahit yang raksasa, yang
menindas, yang menampakkan kehendak. Adapun Menakjinggo adalah pahlawan,
nasionalis Blambangan sejati, pejuang demokrasi, otonomi dan kemandirian
Blambangan atas imperialisme Majapahit.
Sunan Kalijaga mencoba merombak konsep paralelitas antara gambaran fisik dengan
watak, moral atau perilaku. Semar, Gareng, Petruk dan Bagong adalah
seburuk-buruk makhluk jika dipandang dari sudut performa. Tapi nurani mereka,
moral mereka, kasih sayang kemanusiaan mereka, pembelaan kerakyatan mereka, tak
ada yang menandingi.
Adapun bagaimanakah filosofi dan konsep budaya manusia modern kayak kita
sekarang ini? Apakah kesopanan seseorang, kenecisan penampilan seseorang, kostum
seseorang, identik dengan realitas per moralnya? Masihkah kita boleh terjebak
oleh surban, oleh performan kepriyayian, oleh peci, oleh gelar kiai, bahkan oleh
status kehajian seseorang?
Tetapi jangan mentang-mentang performa kekiaian atau kepriyayian tidak menjamin
moral dan perilaku sosial, lantas kita memitologisasikan performa yang lain:
bahwa yang baik pasti yang tidak pakai peci, pasti yang tidak bersurban dan tak
bergelar kiai. Mentang-mentang banyak penipu pakai sepatu dan dasi, lantas kita
anggap yang pakai sendal dan kaos oblong pasti baik. Kita tetap harus obyektif
dan sanggup menemu_kan relativitas dari simbol yang manapun. Relativisme kultur
harus diterapkan pada semua gejala lambang.
Kalau warna hijau, umpamanya, dilegalisir secara kultural untuk menyebut
kelompok `beragama', kita tidak lantas memastikan bahwa produk perilaku kelompok
ini tentu berkualitas kiai dan priyayi, tentu bermoral dan selalu berada di
pihak yang benar. Sebab bisa saja dari kaum hijau justru muncul rekayasa dan
perilaku ala buto atau raksasa yang menabrak apa saja dengan kasar, yang
meringkus apa saja dengan brutal, yang melegalisir `kudeta' ini dan itu,
mendongkel dadap dan waru, yang menggoyang dan menjatuhkan fulan dan polan.
Artinya, dalam hidup ini terutama dalam dunia gawat yang bernama politik: sangat
mungkin terjadi priyayi berperilaku buto, kiai bergerak secara raksasa.
Sebaliknya, dengan itu semua kita tidak lantas terjebak pada fenomena antitesis
yang juga kita dramatisir dan kita mitologisasikan. Misalnya bahwa kita langsung
menganggap bahwa yang non-hijau pasti yang benar, yang sopan, yang bermoral,
yang pro-demokrasi.
Kita sungguh-sungguh memerlukan kejernihan akal, hati yang sejuk dan jiwa yang
selapang-lapangnya, untuk mempersepsikan segala sesuatu yang hari-hari ini kita
baca di koran-koran dan kita tonton di teve dan kita dengar di radio maupun di
warung-warung.
Atau jangan lupa bisa juga ada raja yang benar-benar raja atau ratu yang
benar-benar ratu, namun ia dikelilingi oleh buto-buto. Segala akses informasi
yang diterima oleh telinga sang raja berasal dari buto-buto. Kepada raja
dikatakan "Paduka, mereka sudah tak suka sama si Waru, jadi sangat dibutuhkan
pergantian." Dan kepada `mereka' dikatakan, "He anak-anak, Paduka sudah tidak
berkenan lagi sama si Waru, jadi segera bikin kumpul untuk penggantian...."
Termasuk jangan lupa bahwa sesungguhnya para buto tidak senantiasa merupakan
makhluk yang benar-benar buto. Para priyayi, priyagung, kiai, atau apapun, yang
penuh sopan santun, yang tampak bermoral dan khusyu bisa pada momentum
tertentu terpaksa menjadi buto, untuk kepentingan tertentu yang harus
dilaksanakan secepat-cepatnya.
Oleh karena itu jika Anda sudah menjadi Ratu, pada saat yang diperlukan
bersikaplah segera menjadi Raja. Raja itu jelas kehendaknya, dawuhnya,
perintahnya, rancangannya. Kalau Ratu, cenderung diam karena anggun dan penuh
wibawa.
Ratu lebih banyak senyum-senyum saja. Namun kemudian yang berlangsung di seluruh
negeri adalah interpretasi para buto tertentu atas senyum sang Ratu. Kalau
interpretasi murni, masih lumayan. Tapi kalau interpretasi berdasar kepentingan
para buto, susahlah semua rakyat.
(Emha Ainun Nadjib/"Keranjang Sampah"/Zaituna/PmBNetDok)
bahwa banyak hal yang sedang menjadi pengalaman kolektif masyarakat kita dewasa
iniĆ¢€”diam-diam ada kaitannya dengan idiom-idiom `raja', `ratu' dan `buto'?
Marilah sesekali berpikir jernih dan tolong kerahkan akal pikiran serta segala
spektrum keilmuan Anda untuk menjawab pertanyaan: apakah di penghujung abad 20
ini masih ada raja, ratu, atau buto?
Kalau kita berpikir formal, tak ada raja, apalagi ratu. Tapi kalau berpikir
substansial atau essensial: kita-kita ini adalah raja, adalah ratu, juga adalah
buto.
Kita mungkin raja atas bawahan-bawahan kita. Kita raja di rumah, di lingkungan
kantor, atau mungkin di mana saja kita berada. Sekurang-kurangnya kita secara
alamiah (dan diperkembangkan oleh tradisi pengalaman sosial) memiliki
potensialitas untuk cenderung menjadi `raja', yang sadar atau tak sadar, kita
terapkan di setiap kosmos keterlibatan sosial kita.
Kita cenderung merajai rumah tangga kita, merajai lingkungan pergaulan kita,
merajai segala aset di sekitar kita. Apalagi jika kita dibesarkan oleh suatu
lingkungan yang atmosfer perhubungan antar-manusianya bersifat feodalistik di
mana orang hanya memiliki dua kemungkinan: kalau di atas, menginjak; kalau di
bawah, menjilat atau mengemis.
Yang terbaik tentulah jika kita sanggup menjadi raja atas diri kita sendiri.
Kita menjadi raja atas segala urusan hidup kita. Kita menjadi raja yang
demokratis dan pensyukur atas segala kebaikan diri kita, kita menjadi raja yang
diktator atas segala keburukan diri kita.
Tetapi apa beda antara `raja' dengan `ratu' sesungguhnya? Sehingga tulisan ini
berjudul demikian?
Kalau membedakan antara raja dan ratu dengan buto, masih relatif agak gampang.
Buto, atau raksasa, tak pernah ada dalam kehidupan manusia, di bagian manapun
dari sejarah peradabannya. Buto atau raksasa hanyalah personifikasi dari salah
satu watak gelap manusia yang berpotensi anti kemanusiaan, antikebaikan,
anti kehalusan.
Rahwana digambarkan berbadan dan berwajah raksasa, karena ia lambang kejahatan.
Meskipun demikian, menurut masyarakat Srilanka, Rahwana bisa menjadi pahlawan
yang ganteng. Justru Prabu Rama itu imperialis, fasis, kolonialis, yang lebih
tepat untuk digambarkan berwajah buto.
Sebagaimana orang Blambangan dan Banyuwangi tidak mengakui gambaran Menakjinggo
yang oleh `sejarah versi Majapahit' digambarkan sebagai buto yang buruk wajah
maupun kelakuannya. Bagi mereka, justru raja-raja Majapahit yang raksasa, yang
menindas, yang menampakkan kehendak. Adapun Menakjinggo adalah pahlawan,
nasionalis Blambangan sejati, pejuang demokrasi, otonomi dan kemandirian
Blambangan atas imperialisme Majapahit.
Sunan Kalijaga mencoba merombak konsep paralelitas antara gambaran fisik dengan
watak, moral atau perilaku. Semar, Gareng, Petruk dan Bagong adalah
seburuk-buruk makhluk jika dipandang dari sudut performa. Tapi nurani mereka,
moral mereka, kasih sayang kemanusiaan mereka, pembelaan kerakyatan mereka, tak
ada yang menandingi.
Adapun bagaimanakah filosofi dan konsep budaya manusia modern kayak kita
sekarang ini? Apakah kesopanan seseorang, kenecisan penampilan seseorang, kostum
seseorang, identik dengan realitas per moralnya? Masihkah kita boleh terjebak
oleh surban, oleh performan kepriyayian, oleh peci, oleh gelar kiai, bahkan oleh
status kehajian seseorang?
Tetapi jangan mentang-mentang performa kekiaian atau kepriyayian tidak menjamin
moral dan perilaku sosial, lantas kita memitologisasikan performa yang lain:
bahwa yang baik pasti yang tidak pakai peci, pasti yang tidak bersurban dan tak
bergelar kiai. Mentang-mentang banyak penipu pakai sepatu dan dasi, lantas kita
anggap yang pakai sendal dan kaos oblong pasti baik. Kita tetap harus obyektif
dan sanggup menemu_kan relativitas dari simbol yang manapun. Relativisme kultur
harus diterapkan pada semua gejala lambang.
Kalau warna hijau, umpamanya, dilegalisir secara kultural untuk menyebut
kelompok `beragama', kita tidak lantas memastikan bahwa produk perilaku kelompok
ini tentu berkualitas kiai dan priyayi, tentu bermoral dan selalu berada di
pihak yang benar. Sebab bisa saja dari kaum hijau justru muncul rekayasa dan
perilaku ala buto atau raksasa yang menabrak apa saja dengan kasar, yang
meringkus apa saja dengan brutal, yang melegalisir `kudeta' ini dan itu,
mendongkel dadap dan waru, yang menggoyang dan menjatuhkan fulan dan polan.
Artinya, dalam hidup ini terutama dalam dunia gawat yang bernama politik: sangat
mungkin terjadi priyayi berperilaku buto, kiai bergerak secara raksasa.
Sebaliknya, dengan itu semua kita tidak lantas terjebak pada fenomena antitesis
yang juga kita dramatisir dan kita mitologisasikan. Misalnya bahwa kita langsung
menganggap bahwa yang non-hijau pasti yang benar, yang sopan, yang bermoral,
yang pro-demokrasi.
Kita sungguh-sungguh memerlukan kejernihan akal, hati yang sejuk dan jiwa yang
selapang-lapangnya, untuk mempersepsikan segala sesuatu yang hari-hari ini kita
baca di koran-koran dan kita tonton di teve dan kita dengar di radio maupun di
warung-warung.
Atau jangan lupa bisa juga ada raja yang benar-benar raja atau ratu yang
benar-benar ratu, namun ia dikelilingi oleh buto-buto. Segala akses informasi
yang diterima oleh telinga sang raja berasal dari buto-buto. Kepada raja
dikatakan "Paduka, mereka sudah tak suka sama si Waru, jadi sangat dibutuhkan
pergantian." Dan kepada `mereka' dikatakan, "He anak-anak, Paduka sudah tidak
berkenan lagi sama si Waru, jadi segera bikin kumpul untuk penggantian...."
Termasuk jangan lupa bahwa sesungguhnya para buto tidak senantiasa merupakan
makhluk yang benar-benar buto. Para priyayi, priyagung, kiai, atau apapun, yang
penuh sopan santun, yang tampak bermoral dan khusyu bisa pada momentum
tertentu terpaksa menjadi buto, untuk kepentingan tertentu yang harus
dilaksanakan secepat-cepatnya.
Oleh karena itu jika Anda sudah menjadi Ratu, pada saat yang diperlukan
bersikaplah segera menjadi Raja. Raja itu jelas kehendaknya, dawuhnya,
perintahnya, rancangannya. Kalau Ratu, cenderung diam karena anggun dan penuh
wibawa.
Ratu lebih banyak senyum-senyum saja. Namun kemudian yang berlangsung di seluruh
negeri adalah interpretasi para buto tertentu atas senyum sang Ratu. Kalau
interpretasi murni, masih lumayan. Tapi kalau interpretasi berdasar kepentingan
para buto, susahlah semua rakyat.
(Emha Ainun Nadjib/"Keranjang Sampah"/Zaituna/PmBNetDok)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar