Penjara sebagai Pertolongan Terendah
Lia Aminudin akan masuk bui lagi. Saya bersangka baik ia tidak berniat jahat dengan “Jibril, Ruhul Kudus, Kerajaan Sorga, Imam Mahdi”-nya. Mungkin ia orang yang khilaf, tetapi tidak memiliki alat di dalam dirinya untuk memahami kekhilafannya.
Namun, software untuk memahami kekhilafannya itu juga mungkin tidak terdapat di luar dirinya: pada sistem nilai masyarakat dan hukum negaranya. Kita terkurung dalam kelemahan kolektif yang membuat kita bersikap over-defensif, amat mudah merasa terancam, bahkan ”sekadar” oleh Lia Aminudin dengan beberapa puluh pengikutnya.
Kita tidak terbiasa dengan demokrasi ilmu, pencakrawalaan wacana, ketangguhan mental sosial. Tak ada kematangan filosofi hukum, kedewasaan budaya, dan kedalaman nurani keagamaan, untuk sanggup meletakkan Lia beserta pengikutnya sebagai sesama hamba Allah yang perlu saling menemani.
Apa pun nama dan formulanya: partner dialog, dinamika ijtihad (jihad intelektual) maupun mujahadah (jihad spiritual) di tengah hamparan ilmu Allah yang amat sangat luas. Mungkin seseorang bisa bertanya kepadanya, ”Yang Ibu merasa jengkel sehingga ingin menghapuskan itu agama ataukah institusi agama?”
Ilmu dan peradaban diperluas oleh informasi dari agama dan pasal-pasal hukum adalah jalan terakhir dan terendah kualitasnya. Penjara adalah metode yang paling tidak bermutu untuk mencintai dan menemani masalah sesama manusia.
10-8-2 dan kontra-hidayah
Sekitar 15 tahun silam, Lia menemui saya. Ia sedang sibuk berdagang bunga kering. Ia merasa mendapat anugerah dari Allah, diizinkan bisa menyembuhkan banyak orang dari berbagai macam penyakit.
Kurang tepat sebenarnya menemui saya untuk menanyakan hal-hal tentang anugerah itu: apa benar dari Allah, bagaimana menyikapinya, apa yang harus dilakukan dan sebagainya. Saya tidak punya kredibilitas untuk mampu menjawab itu. Tetapi, wajib hormat tamu, saya jawab sekenanya. Allah yang bikin tamu datang, Ia juga yang siapkan fasilitas pelayanan.
Saya jawab, Allah kasih hidayah kepada siapa saja yang Ia maui. Ia titipkan berkah kepada orang yang rendah di pandangan kita, Ia simpan rahasia petunjuk-Nya kepada orang yang kita benci atau kita remehkan. Kita berlaku biasa-biasa saja, tidak tinggi tidak rendah, tidak hebat tidak konyol.
Waspada dan muthmainnah (tenteram) saja secara nurani, intelektual maupun spiritual. ”Mbak, kalau ke dalam jiwamu masuk pendaran 10 gelombang, kita waspadai bahwa yang dari Allah mungkin hanya 2, sedangkan yang 8 adalah godaan, antagonisme informasi atau kontra-hidayah, mungkin dari dajjal, jin, iblis atau energi liar yang bukan amr-nya Allah. Jadi Mbak Lia tolong hati-hati, jangan setiap yang muncul dianggap berasal dari Tuhan….”
Presidium jin Gunung Kawi
Kemudian ia dipinjami Allah kemampuan menolong banyak orang dari penyakitnya, termasuk penyair besar Rendra. Ia ke Padang Bulan, Jombang, seusai acara banyak anggota jemaah antre diobati olehnya. Paginya saya antar menyisir sebuah hutan di daerah timur Jatim. Setiap akan makan atau minum, ia bilang bahwa ia harus bertanya kepada Jibril sebaiknya makan di warung apa. Saya mengakomodasi keadaan itu dengan kesabaran yang saya ulur-ulur. Jibril terkadang milih rawon terkadang nasi padang.
Sepanjang Jombang-Bondowoso-Malang, ia memoderatori tantangan Jibril kepada saya untuk lomba puisi. Jibril bikin puisi, Mbak Lia menuturkannya, kemudian saya pun bikin puisi balasan, lantas Jibril balas lagi dan saya juga tancap lagi. Demikian seterusnya sampai berpuluh-puluh puisi. Kadar kepenyairan Jibril lumayan juga.
Malam, kami tiba di Gunung Kawi. Naik. Di suatu tempat ia berantem ama empat jin, Presidium Kepemimpinan Jin Gunung Kawi. Banting-membanting. Berguling-guling. Saya standby saja. Sepanjang ia tak terkena bahaya fisik serius, saya biarkan saja. Kalau sampai nanti jinnya ngawur dan ia terluka atau pingsan: sudah pasti saya tidak tinggal diam, saya pasti bertindak dengan teriak ”Tolooong! Tolooong!” dan mencari Polsek terdekat.
Bereslah Indonesia
Setelah itu kami belum pernah berjumpa lagi. Berita-berita tentang dia membahana. Masyarakat hanya punya pengetahuan dan bahasa tunggal: Lia meresahkan masyarakat. Pemerintah juga tak kalah liniernya: Lia tersangka dengan tuduhan penodaan agama dan penghasutan. Media massa juga tidak memiliki peta untuk mengerti narasumber yang compatible untuk kasus semacam ini. Kesamaan dari ketiganya adalah tidak ada yang ”menemani”, atau ”menyelamatkan”-nya.
Ia sempat kirim sms kepada saya tentang di dalam dirinya menyatu Imam Mahdi, Maryam, dan Jibril. Saya menjawab dengan penuh rasa syukur: Kalau begitu bereslah Indonesia. Tak perlu lagi pusing kepala memikirkan komplikasi permasalahan bangsa yang semakin majnun.
Kalau Imam Mahdi datang, yang terjadi pasti revolusi solusi, perubahan ultraradikal menuju perbaikan yang ajaib. Dengan Maryam, ibundanya Rasul Cinta, redalah segala kebrutalan politik, ekonomi, dan budaya. Bahkan, bisa seperti pegadaian nasional: mengatasi masalah tanpa masalah. ”Tetapi, kalau perubahan itu tak terjadi, berarti bukan Jibril, Maryam, dan Imam Mahdi lho Mbak…”
Dan, last but not least, kalau Malaikat Jibril yang berkiprah di Indonesia: Polri jangan coba-coba berurusan dengan beliau. Rumah penjara jangan bangga mengurungnya. Karena Jibril itu makhluk nonmateri, bahkan bukan sekadar makhluk-frekuensi: Jibril adalah sebagian output dari Ilmu Cahaya yang dahsyat, yang Einstein keserempet sedikit—meski beliau mandek tak sampai ke Ufuk Penghabisan, Sidratul Muntaha, di mana ”Cahaya Terpuji” (Nur Muhammad) terpaksa meninggalkannya untuk bertatap wajah langsung dengan Tuhan.
Jibril tak bisa dikurung di Cipinang, bahkan tak juga bisa dihadang oleh hukum ruang dan waktu. Tetapi, sekurang-kurangnya, jika ia masuk bui lagi, bersama napi lain bisa bikin Majlis Ta’lim khusus mempelajari sejarah dan epistemologi: dilacak dengan saksama apa sih sebenarnya ”wahyu”, bedanya apa dengan hidayah, ilham, ma’unah, fadhilah, karomah. Apa gerangan ”mukjizat”, ”Ruh al-Quddus”, ”Adn”, ”Din”, ”Agama”, dan sebagainya. Supaya kalau ada rasa manis hinggap di lidah, tidak langsung bilang itu gula.
(Emha Ainun Nadjib/KOMPAS/20 Desember 2008/PadhangmBulanNetDok)
Namun, software untuk memahami kekhilafannya itu juga mungkin tidak terdapat di luar dirinya: pada sistem nilai masyarakat dan hukum negaranya. Kita terkurung dalam kelemahan kolektif yang membuat kita bersikap over-defensif, amat mudah merasa terancam, bahkan ”sekadar” oleh Lia Aminudin dengan beberapa puluh pengikutnya.
Kita tidak terbiasa dengan demokrasi ilmu, pencakrawalaan wacana, ketangguhan mental sosial. Tak ada kematangan filosofi hukum, kedewasaan budaya, dan kedalaman nurani keagamaan, untuk sanggup meletakkan Lia beserta pengikutnya sebagai sesama hamba Allah yang perlu saling menemani.
Apa pun nama dan formulanya: partner dialog, dinamika ijtihad (jihad intelektual) maupun mujahadah (jihad spiritual) di tengah hamparan ilmu Allah yang amat sangat luas. Mungkin seseorang bisa bertanya kepadanya, ”Yang Ibu merasa jengkel sehingga ingin menghapuskan itu agama ataukah institusi agama?”
Ilmu dan peradaban diperluas oleh informasi dari agama dan pasal-pasal hukum adalah jalan terakhir dan terendah kualitasnya. Penjara adalah metode yang paling tidak bermutu untuk mencintai dan menemani masalah sesama manusia.
10-8-2 dan kontra-hidayah
Sekitar 15 tahun silam, Lia menemui saya. Ia sedang sibuk berdagang bunga kering. Ia merasa mendapat anugerah dari Allah, diizinkan bisa menyembuhkan banyak orang dari berbagai macam penyakit.
Kurang tepat sebenarnya menemui saya untuk menanyakan hal-hal tentang anugerah itu: apa benar dari Allah, bagaimana menyikapinya, apa yang harus dilakukan dan sebagainya. Saya tidak punya kredibilitas untuk mampu menjawab itu. Tetapi, wajib hormat tamu, saya jawab sekenanya. Allah yang bikin tamu datang, Ia juga yang siapkan fasilitas pelayanan.
Saya jawab, Allah kasih hidayah kepada siapa saja yang Ia maui. Ia titipkan berkah kepada orang yang rendah di pandangan kita, Ia simpan rahasia petunjuk-Nya kepada orang yang kita benci atau kita remehkan. Kita berlaku biasa-biasa saja, tidak tinggi tidak rendah, tidak hebat tidak konyol.
Waspada dan muthmainnah (tenteram) saja secara nurani, intelektual maupun spiritual. ”Mbak, kalau ke dalam jiwamu masuk pendaran 10 gelombang, kita waspadai bahwa yang dari Allah mungkin hanya 2, sedangkan yang 8 adalah godaan, antagonisme informasi atau kontra-hidayah, mungkin dari dajjal, jin, iblis atau energi liar yang bukan amr-nya Allah. Jadi Mbak Lia tolong hati-hati, jangan setiap yang muncul dianggap berasal dari Tuhan….”
Presidium jin Gunung Kawi
Kemudian ia dipinjami Allah kemampuan menolong banyak orang dari penyakitnya, termasuk penyair besar Rendra. Ia ke Padang Bulan, Jombang, seusai acara banyak anggota jemaah antre diobati olehnya. Paginya saya antar menyisir sebuah hutan di daerah timur Jatim. Setiap akan makan atau minum, ia bilang bahwa ia harus bertanya kepada Jibril sebaiknya makan di warung apa. Saya mengakomodasi keadaan itu dengan kesabaran yang saya ulur-ulur. Jibril terkadang milih rawon terkadang nasi padang.
Sepanjang Jombang-Bondowoso-Malang, ia memoderatori tantangan Jibril kepada saya untuk lomba puisi. Jibril bikin puisi, Mbak Lia menuturkannya, kemudian saya pun bikin puisi balasan, lantas Jibril balas lagi dan saya juga tancap lagi. Demikian seterusnya sampai berpuluh-puluh puisi. Kadar kepenyairan Jibril lumayan juga.
Malam, kami tiba di Gunung Kawi. Naik. Di suatu tempat ia berantem ama empat jin, Presidium Kepemimpinan Jin Gunung Kawi. Banting-membanting. Berguling-guling. Saya standby saja. Sepanjang ia tak terkena bahaya fisik serius, saya biarkan saja. Kalau sampai nanti jinnya ngawur dan ia terluka atau pingsan: sudah pasti saya tidak tinggal diam, saya pasti bertindak dengan teriak ”Tolooong! Tolooong!” dan mencari Polsek terdekat.
Bereslah Indonesia
Setelah itu kami belum pernah berjumpa lagi. Berita-berita tentang dia membahana. Masyarakat hanya punya pengetahuan dan bahasa tunggal: Lia meresahkan masyarakat. Pemerintah juga tak kalah liniernya: Lia tersangka dengan tuduhan penodaan agama dan penghasutan. Media massa juga tidak memiliki peta untuk mengerti narasumber yang compatible untuk kasus semacam ini. Kesamaan dari ketiganya adalah tidak ada yang ”menemani”, atau ”menyelamatkan”-nya.
Ia sempat kirim sms kepada saya tentang di dalam dirinya menyatu Imam Mahdi, Maryam, dan Jibril. Saya menjawab dengan penuh rasa syukur: Kalau begitu bereslah Indonesia. Tak perlu lagi pusing kepala memikirkan komplikasi permasalahan bangsa yang semakin majnun.
Kalau Imam Mahdi datang, yang terjadi pasti revolusi solusi, perubahan ultraradikal menuju perbaikan yang ajaib. Dengan Maryam, ibundanya Rasul Cinta, redalah segala kebrutalan politik, ekonomi, dan budaya. Bahkan, bisa seperti pegadaian nasional: mengatasi masalah tanpa masalah. ”Tetapi, kalau perubahan itu tak terjadi, berarti bukan Jibril, Maryam, dan Imam Mahdi lho Mbak…”
Dan, last but not least, kalau Malaikat Jibril yang berkiprah di Indonesia: Polri jangan coba-coba berurusan dengan beliau. Rumah penjara jangan bangga mengurungnya. Karena Jibril itu makhluk nonmateri, bahkan bukan sekadar makhluk-frekuensi: Jibril adalah sebagian output dari Ilmu Cahaya yang dahsyat, yang Einstein keserempet sedikit—meski beliau mandek tak sampai ke Ufuk Penghabisan, Sidratul Muntaha, di mana ”Cahaya Terpuji” (Nur Muhammad) terpaksa meninggalkannya untuk bertatap wajah langsung dengan Tuhan.
Jibril tak bisa dikurung di Cipinang, bahkan tak juga bisa dihadang oleh hukum ruang dan waktu. Tetapi, sekurang-kurangnya, jika ia masuk bui lagi, bersama napi lain bisa bikin Majlis Ta’lim khusus mempelajari sejarah dan epistemologi: dilacak dengan saksama apa sih sebenarnya ”wahyu”, bedanya apa dengan hidayah, ilham, ma’unah, fadhilah, karomah. Apa gerangan ”mukjizat”, ”Ruh al-Quddus”, ”Adn”, ”Din”, ”Agama”, dan sebagainya. Supaya kalau ada rasa manis hinggap di lidah, tidak langsung bilang itu gula.
(Emha Ainun Nadjib/KOMPAS/20 Desember 2008/PadhangmBulanNetDok)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar