Halaman

Rabu, 18 Mei 2011

PECEL BELUT

PECEL BELUT

Mungkin saja Anda kini sedang sibuk memulai 'Pelita' baru warung Anda. Tubuh warung gedhek dilapisi koran supaya sedikit cemerlang, meja kursi dibikin mulus, toples dan piring gelas diusahakan mengkilat, dan yang terpenting Anda persiapkan menu-menu baru yang istimewa dan unik. Mungkin Anda mau populerkan -- sebutlah -- "Es Gombloh", pecel belut model kontemporer yang dibikin punya rasa salad Amerika, memperkenaikan sarakbah dari seberang laut, atau ballut ala negeri Cory Aquino.
Pokoknya suguhan serba sip. Setiap pelanggan rnerasa fly to heaven dan akan senantiasa terkenang-kenang, lantas memutuskan menu makanan warung Anda adalah pacar atau istri kedua.
Nah, 'Pelita' Anda tak cukup hanya dengan membenahi 'segi internal' warung. Sesudah menu mumpuni, soalnya adalah bagaimana cara menjualnya, di mana Anda menjualnya dan kepada siapa saja berita tentang warung Anda harus disampaikan.
Bagi beberapa putuh orang yang sudah selalu makan di warung Anda, perubahan menu itu langsung terasa.

Lantas mungkin mereka menggethok-tular-kan kepada handai tolan mereka. tapi gethok tular itu sifatnya spekulatif, seingga tak bisa Anda daftari dalam 'matematika target-target' Anda.
Ada jarak atau tahap antara pelanggan menuju menu. Sebelum itu ada tahap atau jarak antara warung Anda dengan sangat banyak orang yang tidak tahu menahu tentang warung Anda dan hanya sedikit mendengar slenthang-slenthing bahwa warung Anda menyelenggarakan revolusi menu: tapi hal itu kurang menarik minatnya, terutama karena selama ini reputasi warung memang seperti klub Galatama papan bawah.
Dengan kata lain, beratus beribu orang yang lalu lalang di depan lokasi Warung Anda tidak tahu menahu tentang warung Anda. Maka soalnya adalah bagaimana membikin mereka tahu. kta harus yakin bahwa sekarang kelas kita adalah Galatama papan atas dan kita harus bermain di hadapan sebanyak mungkin orang.
Petinju Sugar Ray Robinson meniadi idoianya Mohammad Ali. Tapi Ali memiliki plus dibanding Robinson: di samping keprigelan bertinju yang cemerlang, Ali jauh lebih tahu bagaiamana 'berjualan'. Maka Alilah pionir dari omset bisnis tinju yang fantastik, di mana Ray Leonard dan Tyson kini harus berterirna kasih oleh rintisan itu.
Ali bukan 'the big mouth', karena yang disebut 'mulut besar' itu sekadar metode jual jamu. Tentu saja ia akan hancur kalau jamunya tidak benar-benar manjur. Tapi semanjur apa pun jamunya, kalau ia tak tahu bagaimana menjualnya, maka jamu itu akan diminum hanya oieh beberapa pelanggan yang memang "telanjur mencintai Anda".
Itu kaiau Anda memang berniat 'berjualan'. Kalau saya sendiri memang tak berbakat dan tak punya niat untuk itu. Saya hanya koki peracik kopi yang pasif. Kalau ada yang berminat, alhamdulillah, tidak ya alhamdulillah.
Saya tidak perlu teriak-teriak keliling kota, bikin poster, menyeponsori pentas, atau apa pun. Silakan bell kopi dari saya, dan kalau Anda hendak menjualnya kembali, silakan pakai kerangka dan metode Anda sendiri sesuai dengan cakrawala yang akan Anda arungi. Sesekali saya akan bantu berteriak, sebab hidup tanpa teriak itu ibarat kopi kurang nyegrak.

(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi Jon Pakir"/Mizan/1996/PadhangmBulanNetDok)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar