Halaman

Kamis, 19 Mei 2011

Leher Kambing si Miskin

Leher Kambing si Miskin

Sukses kampanye tauhid Rasululiah terutarna karena mengandalkan uswatun khasanah: teladan hidup yang bersih dan konsisten. Tak banyak omong. Mulut beliau Terpelihara. Beda dengan hobi kita sekarang.
Memang, asyiknya Nabi utusan Tuhan terakhir, Muhammad Saw., ini bukan hanya karena beliau itu manusia lumrah raja, aba ahadin min-kum (sebagaimana bapak anak-anak pada umumnya). Bukan karena karakter kerasulan beliau serius mengandalkan mukjizat atau kasekten yang aneh-aneh. Namun yang paling mengasyikkan adalah bahwa putra Abdullah ini buta huruf dan mernilih hidup melarat.
Pada suatu hari datang bertamu kepada beliau seorang anak yang menyampaikan pesan ibunya agar Nabi memberikan sesuatu kepadanya. Nabi berkata, "Hari ini kami serumah tak punya apa-apa." Si anak ngeyel, "Kata ibu, kalau tak punya apa-apa, mohon Nabi menanggalkan baju dan memberikan kepada kami."
Muhammad pun menanggalkan bajunya, memberikannya, kemudian duduk dalam rumah, kedinginan dan agak menyesal. Allah segera kirim Jibril untuk memuji namun juga mengkritik Muhammad, "Jangan mengalungkan kedua tanganmu di leher, namun juga jangan mengulurkan tangan terlalu panjang."
Artinya, manusia tak boleh pelit. Tapi dalam bersedekah juga harus tetap rasional dan realistis. Sakmadya, kata orang Jawa.
Di saat lain Nabi yang anggun pendiam ini tampak buncit perutnya tatkala sembahyang di masjid, Sayyid Umar bin Khaththab memperhatikan dan menelitinya dengan. seksama. Akhirnya ketahuan bahwa beliau sedang kelaparan, sehingga diambilnya sebongkah batu, diikatkannya di perut, lantas ditutupi gamis. Umar belingsatan mencarikan inakanan untuk beliau.
Ternyata pilihan untuk melarat, asal jangan sampai fagiy, absah juga. Manusia berhak untuk kaya, tapi berhak pula untuk miskin. Muhammad ini contoh yang paling 'gawat' dalam sejarah dalam soal keberhasilan ekonomi, bahkan puasa kesejahteraan atau apalagi kemewahan sedemikian rupa. Kaum orientalis maupun kita-kita sampai sekarang jarang menyebut-nyebut betapa pentingnya etos satu ini untuk mempersyaratkan mutu kepemimpinan seseorang atau masyarakatnya.
Muhammad penguasa jazirah Arab, namun menolak untuk menjadi penguasa. Sebab ia adalah pemimpin.

Penguasa dan pemimpin adalah dua rnakhluk dan dua soal yang sama sekali berbeda. Penguasa memanage kekuasaan dirinya atas orang banyak, sedangkan pemimpin memanage cinta dan sistem penyejahteraan.
Ketika itu Muhammad sanggup memperoleh apa saja: dunia sudah digenggamnya. Ia sudah memiliki segala persyaratan untuk duduk di singgasana dan menikmati segala-galanya: jaringan, akar, geniusitas, ketrampilan manajemen, kependekaran fisik, atau apa saja yang harus dirriliki oleh seorang raja.
Namun Beliau ogah jadi raja. Raja itu malik.
'Malik' itu sifat Tuhan. Beliau memilih term Khalifah dan itu sama dengan fungsi setiap manusia, meskipun Allah memuliakannya dengan status nabi dan rasul. Muhammad makan hanya karena lapar dan berhenti makan sebelum kenyang. Beda dengan kita yang terus lapar dalam keadaan kekenyangan. Muhammad bersedia tidur beralaskan daun aren ketika pulang larut malam dan sungkan membangunkan Aisyah.
Muhammad punya pendahulu nenek-moyang yang bernama raja Sulaiman putra Daud. Allah menawarinya apakah mau menjadi raja dan kaya-raya seperti Sulaiman. Beliau menolak. Supaya masuk syurga duluan, beda dengan Sulaiman yang mendapat jatah terakhir sesudah semua nabi.
Apakah ia, Muhammad itu, seorang masochis-romantik? Seseorang yang sok, anti materi dan cengeng?

Bukankah Allah membuka pintu lebar-lebar, "Kuhamparkah bumi dan langit dan semua isinya. Makan dan minumlah, asal jangan berlebih-lebihan...."? Kenapa Muhammad memilih 'kekurangan' setidak-tidaknya menurut tolok ukur kita sekarang?
Memang kebanyakan kita sekarang jauh lebih kaya dibanding Mohammad. Bahkan 30 juta penduduk Indonesia yang kabarnya masih di bawah garis kemiskinan, belum tentu lebih parah keadaannya dibanding Muhammad. Betapa mungkin, seorang nabi, yang menurut logika moral seolah-olah berhak atas separo jazirah Arab beserta tambang-tambangnya: ketika wafat, malah masih punya hutang beberapa kilogram gandum kepada tetangganya seorang Yahudi? Kita yang satpam atau tukang ojek pun mungkin lebih baik dari itu keadaan ekonominya.
Namun jangankan Muhammad. Sedangkan kepala suku Ammatoa di Kajang, Bulukumba, Sulawesi Selatan, kepala suku Boti, Soe, Nusa Tenggara Timur pun tahu dan konsisten bagaimana berlaku sebagai pemimpin. Ia tak bersedia menerima sesuap pun dari rakyat. "Kalau saya menerima sesuatu dari rakyat saya, mereka berhak meniru saya untuk meminta-minta" katanya, "saya harus mencontohkan bagaimana bertariggungjawab kepada diri sendiri. Harus mencari makan sendiri, maka dari piling yang saya buat sendiri
dan minum dengan gelas yang juga saya buat sendiri...."
Di mata kita dan cara berpikir kita sekarang, Muhammad dan Amatoa adalah pemimpin yang tolol. Mereka tidak tahu mumpung, tak tahu bagaimana posisi, jabatan, kekuasaan dan peluang.
Logika dan moralitas Muhammad terbalik bagi kita. Sebelurn menjadi nabi dan pemimpin, Muhammad membuktikan dulu perilaku yang terpercaya (al-amin), menjadi sales yang jujur dan merijaga setiap ucapannya. Kemudian sesudah jadi nabi malah berhenti berdagang. Padahal 'mestinya' menurut gaya hidup kita yang maju dan modernsesudah tercapai menjadi penguasa itulah justru peluang amat luas untuk menggunungkan omset dagang. Semakin tinggi kekuasaan di jalur birokrasi semakin banyak kesempatan fasilitas (dana, kemudahan-kemudahan, dominasi).
Tapi rupa-rupanya "perniagaan" Muhammad mernang lain. Ketika beliau diberi hadiah seekor kambing, lantas disembelih dan dibagi-bagikan ke seluruh tetangganya.
"Sudah habis semua, ya Rasul," kata Aisyah, "Yang tersisa buat kita tinggal leher kambing itu"..
"Tidak, Aisyah," sahut Nabi, "Yang tersisa menjadi milik kita adalah seluruhnya kecuali lehernya."
Tentu ini diketawain oleh ideolog konsep kepemilikan.

(Emha Ainun Nadjib/"Gelandangan Di Kamping Sendiri"/ Pustaka Pelajar/1995/PadhangmBulanNetDok)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar